Wednesday, August 24, 2011

Di Jepang, Hormati yang Tidak Berpuasa

Posted by MGYP at Wednesday, August 24, 2011
Saya tertarik dengan artikel ini, kebetulan saya mendapatkannya di salah satu milis yang saya ikuti. Tidak ada maksut apa-apa saya posting artikel ini, saya cuma berharap agar masyarakat disini lebih saling menghormati satu sama lain.

Berpuasa di kota Tokyo memiliki sisi menarik tersendiri. Hal ini
karena suasana di Tokyo berbeda dengan suasana di tanah air. Kalau di
Indonesia, Ramadhan adalah sebuah festivities. Saat Ramadhan tiba,
suasana mall, pusat perbelanjaan, perkantoran, berubah wajah menjadi
Islami. Di berbagai tempat, banyak restoran yang tutup atau
menggunakan tirai. Tempat-tempat hiburan malam juga ditutup, kalau
tidak mau ambil risiko digrebek masyarakat. Alasannya, hormatilah
orang yang berpuasa.

Namun di Tokyo tidaklah demikian. Justru sebaliknya, aktivitas
masyarakat saat bulan Ramadhan berjalan normal seperti biasa. Warung
dan restoran di kota Tokyo tetap buka, dan tentu tanpa ditutup tirai.
Orang-orang juga tetap makan dan minum di muka umum. Sementara tempat
hiburan juga tetap buka.

Jepang memang bukan negara muslim dan tidak menyelenggarakan puasa
sebagai ibadah nasional. Namun hal tersebut tidak mengurangi
kekhusyukan bagi mereka yang berpuasa. Justru, berpuasa di Jepang
memiliki makna tersendiri karena kaum muslim mendapatkan langsung
esensi dasar dari berpuasa, yaitu menahan nafsu, menghargai orang
lain, dan memupus ego individu atau kelompok.

Selama ini saya cenderung beranggapan bahwa orang puasa itu yang harus
dihargai. Kalau ada orang makan di hadapan yang berpuasa dianggap
tidak menghargai yang berpuasa. Di Jepang, justru sebaliknya, kita
harus menghormati yang tidak berpuasa. Orang berpuasa tidak boleh
menyulitkan mereka yang tidak berpuasa, apalagi meminta fasilitas dan
perhatian khusus karena kita berpuasa.

Saat seorang kawan Jepang bertanya mengapa saya tidak makan dan minum,
barulah mereka memahami bahwa orang muslim sedang berpuasa. Mulanya
mereka khawatir dengan kesehatan saya karena berpuasa di musim panas
dianggap berbahaya. Namun saat mengetahui esensi berpuasa, mereka
sangat memahami dan menghormati. Orang Jepang juga mengenal puasa.
Mereka menyebut puasa dengan istilah “Danjiki”. Istilah tersebut
mengacu pada kultur Jepang (Budhisme-Shintoisme) yang juga mengajarkan
untuk menahan makan dan minum.

Rasa hormat pada yang tidak berpuasa bukan hanya dilakukan saat siang
hari. Saat malam tiba, sholat tarawih di Tokyo juga dilakukan secara
tenang dan tidak mengganggu masyarakat. Sholat tarawih di berbagai
tempat di Tokyo, baik masjid maupun aula, tidak menggunakan pengeras
suara yang terdengar keluar. Pengeras suara hanya diperdengarkan di
dalam ruangan saja. Ini adalah bentuk toleransi agar tidak mengganggu
istirahat masyarakat Jepang yang tidak berpuasa dan sedang istirahat.

Berpuasa di Jepang mengajarkan satu hal, bahwa rasa saling menghargai
umat lain adalah kunci untuk menjadikan Islam lebih dipahami dan
dihargai. Mengetahui bahwa kami berpuasa, rekan-rekan Jepang di kantor
justru menghargai. Mereka tidak makan minum di depan yang berpuasa.
Padahal, kami tidak pernah melarang dan mempermasalahkan.

Selama tinggal di Jepang, saya justru merasakan bahwa sejatinya,
orang-orang Jepang ini juga berpuasa. Oleh karenanya, kita harus
saling menghargai.

Di jalan raya, mereka puasa dengan tidak saling serobot dalam
mengemudi. Di bis dan kereta, mereka puasa untuk tidak ngobrol dan
berisik, karena takut mengganggu sekitarnya. Mereka juga puasa
melakukan kejahatan atau pencopetan di angkutan umum.

Di pekerjaan, mereka puasa tidak membicarakan kekurangan orang. Di
masyarakat, mereka puasa untuk menahan kepentingan diri demi
masyarakat dan tatanan yang lebih luas. Mereka mengantri, membuang
sampah pada tempatnya, dan tertib dalam bermasyarakat.

Bukankah itu juga esensi dari puasa kita? Bahwa kita harus menahan
nafsu (selama kita hidup), dan bukan menunda nafsu (hanya sampai
dengan berbuka)?

Selamat berpuasa, dan hormatilah yang tidak berpuasa. Salam dari Tokyo.

http://luar-negeri.kompasiana.com/2011/08/07/di-jepang-hormati-yang-tidak-berpuasa/

Dan berikut adalah tanggapan beberapa teman dari milis

Makasih infonya, dalam menjalankan ibadah adalah urusan kita dengan Tuhan, tidak perlu mengharapkan penghormatan dr orang lain.

Setuju! :)

Mengutip twitternya A. Mustofa Bisri, @gusmusgusmu, tgl 1 Agustus kemarin: "Kalian menyuruh orang menghormati Ramadhan atau menyuruh orang menghormati kalian? Sejak kapan Ramadhan minta dihormati? Ia sudah terhormat!"


Yg berpendidikan belom tentu akhlaknya baik. Blom pasti pny etika baik. Sy tiap hari melihat perbedaan2 itu diskitar kerja saya.
Yg pendidikannya rendah atau tidak sekolah, belom pasti jg buruk atitude dan pemikirannya. Malah srg terbalik kelakuan mrk.

Yaah terlepas bener ga-nya, jelas bgt keliatan dimedia massa mana yg kerjaannya plg brutal dan merugikan orglain.
Rakyat Indonesia bodoh2, plg sangat amat takut bila sudah digertak dg 'agama'. Ya kafirlah, ya ga berTuhanlah. Pokoknya urusannya mati atau babakbelur.

Rakyat Indonesia yg asli tanpa keturunan timur, cinta damai loh. Ga suka kerusuhan. Bisa hidup toleransi dg rakyat yg beda agama dan suku, walaupun hidupnya susah. Coba perhatikan deh saat kerusuhan2 menakutkan masyarakat, siapa yg paling didpn membela. Kelompok perusuh?
Dg menyebut nama Tuhan dan mentamengkan agama, mensucikan perbuatan yg menyakitkan orglain. Rakyat jd takut kan? Aaah drpd gw babakbelur dihajar mrk mending tutup mulut aja deh. Urus urusan sendiri.

Yg harus berani mengatur semua adalah ketegasan pemimpin atas negara ini, bukan hanya seorang presiden saja tp semua jajaran pemerintah atas. Ingat jaman orba? Mana ada yg berani berkoar?

Marilah mulai dr keluarga kecil saja menanamkan ajaran kebaikan utk sesama. Ajarkan anak2 sejak dini bertoleransi pd smua tmn2nya tanpa kecuali,tanpa melihat drmn asalnya dr golongan agama apa dan sosial ekonomi.Awasi kegiatan anggota keluarga, bila melenceng lgsg tegur dan kembalikan kejalan yg bener.

0 comments:

Post a Comment

 

KAOSPINK Copyright © 2012 Design by Antonia Sundrani Vinte e poucos